Jakarta – 23 April 2019
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang diajukan oleh Komnas Perempuan sekilas memang berpihak pada kaum wanita agar dilindungi dari kekerasan seksual. Namun RUU P-KS ini menjadi pro kontra khususnya ketika dibicarakan dalam ranah ideologis. Masyarakat yang mendukung RUU P-KS merasa bahwa Indonesia membutuhkan regulasi hukum yang mengatur tentang Kekerasan Seksual. Sedangkan masyarakat yang menolak menganggap bahwa RUU P-KS ini merupakan gerbang masuknya perbuatan seksual menyimpang (LGBTQ+, perzinaan), berpotensi adanya kebebasan aborsi dll. Maka dengan pentingnya pembahasan mengenai RUU P-KS ini LDK Salim UNJ mengadakan seminar bertema “RUU PKS : Beradab atau Biadab?” dengan tujuan mahasiswa UNJ khususnya mahasiswa muslim memahami apa itu RUU P-KS dan dampaknya jika RUU P-KS ini disahkan.
Seminar RUU P-KS ini dilaksanakan pada Selasa, 23 April 2019 dan diikuti oleh ratusan mahasiswa muslim baik dari UNJ maupun luar UNJ. Seminar ini menghadirkan Bunda Suci Susanti yang merupakan Ketua Bidang Media dan Humas AILA Indonesia dan Helmi Al Djufrie yang merupakan Advokat dan Konsultan Hukum PAHAM.
Bunda Suci memaparkan mengenai hadirnya AILA yang didirikan tahun 2013 dan pada tahun 2016 AILA bersama para tokoh melibatkan diri dalam memperjuangkan judicial review pasal kesusilaan dalam KUHP yang dipandang tidak mampu melindungi masyarakat Indonesia. Pada perjuangan judicial review mengenai KUHP, AILA Indonesia berhadapan dengan Komnas Perempuan yang menolak keras pengajuan judicial review karena dianggap akan mengkriminalisasi masyarakat. Tahun 2017, MK menolak judicial review yang diajukan AILA dan ramailah berita “MK Legalkan Zina dan LGBT”. setelah ramainya JR KUHP, Komnas Perempuan yang sebelumnya berhadapan dengan AILA Indonesia ternyata sudah mengajukan RUU P-KS yang kemudian dikaji oleh AILA. Bunda Suci mengatakan, penolakan terhadap RUU P-KS bukan tiba – tiba, melainkan melalui hasil diskusi dan pengkajian yang cukup panjang. Dalam memahami RUU P-KS ini, papar Bunda Suci, perlu juga memahami Naskah Akademik yang diajukan oleh Komnas Perempuan. Dalam Naskah Akademik, Komnas Perempuan menjadikan Feminist Jurisprudency dan Feminist Legal Theory sebagai dasar pembentukan RUU P-KS. Bunda Suci juga mengatakan bahwa dalam RUU P-KS tidak ada satupun pasal yang membawa Pancasila dan Nilai Moral. Tujuan utama RUU ini menciptakan paradigm baru yang menjamin masyarakat bebas dari kekerasan seksual. Sehingga muncul pertanyaan “Paradigma baru seperti apa yang dibutuhkan Indonesia?” Bunda Suci juga memaparkan konsep feminis yaitu my body is mine. Beliau juga menyinggung konsep gender, penyimpangan orientasi seksual , identitas dan ekspresi gender.
Setelah itu, Mas Helmi memaparkan paradigma baru yang dimaksud misalnya ketika ada orang yang berprofesi sebagai pelacur, itu bukan rendahnya profesi. Dia akan merasa rendah, jika direndahkan. Beliau juga menjelaskan kenapa Komnas Perempuan menggunakan terminology kekerasan seksual, yaitu untuk membatasi nilai agama, moral dan adat. Dalam Pasal 44 dan 45 tentang Alat Bukti, Komnas Perempuan hanya menggunakan keterangan korban dan satu yang mendukung pengakuan korban kekerasan seksual. Komnas Perempuan menghapus visum yang sering dijadikan bukti apakah ada kekerasan atau tidak. Mas Helmi juga mengatakan bahwa Komnas Perempuan melakukan kerja sama internasional yang dianggap meragukan kredibilitas lembaga hukum di Indonesia.
Setelah pemaparan materi, seminar dilanjutkan dengan sesi diskusi. Seminar ini ditutup dengan pernyataan sikap dari Ketua LDK Salim UNJ terkait penolakan terhadap RUU P-KS dan penandatanganan spanduk penolakan RUU P-KS.